MBBS - Transformasi digital telah secara signifikan mengubah lanskap pendidikan, termasuk kegiatan ekstrakurikuler seperti marching band.
Sebagai bagian penting dari kehidupan sekolah menengah atas (SMA), marching band tidak hanya menjadi wadah ekspresi seni dan disiplin, tetapi juga mencerminkan proses sosialisasi, pembentukan modal sosial, dan dinamika budaya yang berkembang seiring dengan kemajuan teknologi.
1. Teori Sosialisasi dan Marching Band dalam Era Digital
Dari perspektif sosialisasi, marching band berperan sebagai sarana penting dalam membentuk keterampilan sosial, disiplin, dan kolaborasi. Namun, dalam konteks digital, siswa kini lebih terbiasa dengan interaksi virtual daripada kerja tim fisik.
Kurangnya sosialisasi dalam lingkungan nyata akibat dominasi digital menyebabkan tantangan dalam kegiatan seperti marching band, yang sangat bergantung pada koordinasi langsung, kedisiplinan waktu nyata, dan komunikasi non-verbal.
Adaptasi terhadap latihan virtual selama pandemi, misalnya, menunjukkan bahwa internalisasi nilai-nilai kolektif menjadi kurang efektif ketika dilakukan melalui medium digital.
2. Kapital Sosial dan Ketimpangan dalam Akses Ekstrakurikuler
Konsep kapital sosial juga relevan dalam mengamati ketimpangan akses terhadap kegiatan marching band. Siswa yang memiliki akses terhadap perangkat digital untuk latihan musik secara daring, aplikasi notasi musik, atau jaringan komunitas musisi digital jelas lebih diuntungkan dibandingkan siswa yang tidak memiliki akses tersebut.
Perbedaan modal sosial ini memperlebar kesenjangan kualitas partisipasi siswa dalam marching band, terutama saat kegiatan harus dilakukan secara daring atau hybrid. Selain itu, dukungan orang tua terhadap kegiatan seni juga sangat dipengaruhi oleh tingkat literasi digital keluarga.
3. Teori Deviasi: Tantangan Disiplin dalam Kegiatan Kolektif
Dalam konteks teori deviasi, kurangnya struktur pengawasan dalam lingkungan digital dapat memengaruhi kedisiplinan siswa, termasuk dalam kegiatan marching band.
Perilaku menyimpang seperti keterlambatan hadir latihan, ketidakseriusan dalam latihan daring, hingga manipulasi hasil rekaman latihan bisa muncul karena lemahnya kontrol sosial.
Ini menunjukkan bahwa dalam kegiatan yang menuntut kerja sama dan tanggung jawab tinggi seperti marching band, kehadiran fisik dan ikatan sosial nyata masih sangat penting.
4. Budaya Digital dan Identitas Musikal Siswa
Budaya digital telah membentuk identitas musikal siswa, yang kini lebih banyak mengakses dan meniru musik populer dari media sosial dibandingkan musik tradisional marching band.
Hal ini membawa peluang dan tantangan: marching band bisa memanfaatkan tren digital untuk inovasi aransemen, namun di sisi lain bisa mengalami krisis identitas apabila nilai-nilai tradisionalnya tidak dikontekstualisasikan ulang.
Literasi media digital penting untuk mengajarkan siswa memilah mana konten musik yang dapat memperkaya ekspresi seni marching band dan mana yang justru menyimpangkan tujuan utamanya.
Ketidaksiapan mental siswa dalam menghadapi era digital juga tercermin dalam aktivitas seperti marching band. Kegiatan ini tidak hanya membutuhkan keterampilan musikal, tetapi juga kesiapan sosial, disiplin kolektif, dan kemampuan navigasi budaya.
Maka dari itu, transformasi digital dalam pendidikan tidak boleh hanya berfokus pada aspek akademik, tetapi juga harus menyentuh ranah kegiatan ekstrakurikuler sebagai media sosialisasi yang kuat.
Marching band dapat menjadi alat strategis dalam membentuk kesiapan mental digital siswa, jika dikembangkan dengan pendekatan yang integratif, adaptif, dan berbasis literasi digital.
Penulis: M. Haris Ibnu Malik (Manajer Marching Band Bahana Swara MA Salafiyah Kajen)